Di sebuah sudut sunyi Labuha, Halmahera Selatan—yang riuh hanya oleh ombak yang mencium pesisir dan angin yang menyelip di sela-sela pohon tua—berjalanlah seorang tua dengan pakaian lusuh, rambut kusut, langkah tak tentu arah. Namun justru di situlah letak keteraturan batinnya. Ia bukan orang biasa. Ia adalah Tete Tu, sosok yang oleh sebagian orang disebut majdzub—tertarik sepenuhnya ke dalam samudra Allah.
Tak banyak kata terucap dari bibirnya, namun diamnya sering kali lebih tajam dari khutbah panjang para ulama. Mata orang awam melihatnya sebagai orang yang “tidak waras”, namun mata hati yang tercerahkan akan melihatnya sebagai pejalan sunyi yang telah melampaui dunia. Tete Tu adalah zikir yang menjelma manusia, sujud yang menyusup ke dalam jejak langkahnya, dan doa yang mengalir dari rintik hujan yang membasahi pundaknya.
Seorang jadzab, dalam tradisi tasawuf, adalah pecinta yang ditarik secara paksa oleh Sang Kekasih, hingga ia tak lagi tertarik pada urusan dunia. Jika kaum salik berjalan dengan disiplin syariat dan tarekat, maka majdzub ditarik langsung menuju makrifat—lewat jalan cinta yang penuh luka dan kelaziman yang hancur. Tete Tu adalah potret zikir yang berjalan, kadang menggumam, kadang tertawa, kadang menangis tanpa sebab. Tapi apakah kita tahu apa yang dilihatnya?
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Ia mungkin sedang melihat wajah Kekasih yang tak mampu dilihat mata biasa. Ia mungkin sedang bercakap-cakap dengan ruh para wali. Atau ia mungkin sedang menanggung beban doa ribuan manusia yang tak sampai ke langit karena hati yang terlalu beku.
Pakaian yang Lebih Bersih dari Kita
Dalam sebuah kesempatan, Sultan Bacan angkat bicara tentang Tete Tu—sang jadzab yang menghuni jalanan kota. Bagi beliau, bukan pakaian yang menunjukkan kebersihan seseorang, melainkan hati. Dan justru pakaian Tete Tu yang tampak kumal itu, sejatinya lebih bersih dari pakaian siapa pun yang dibungkus oleh kemunafikan dan kesombongan.
“Pakaian orang-orang seperti Tete Tu,” ujar Sultan, “telah dibersihkan oleh hujan langit dan air mata malam. Kita ini yang harus malu, karena pakaian kita tak pernah menyentuh bumi dalam sujud panjang, tapi penuh dengan kebanggaan diri.”
Sultan Bacan tidak sedang memuja keanehan. Ia sedang mengingatkan, bahwa dalam dunia yang terlalu gemerlap ini, kita sering lupa bahwa Allah mencintai orang-orang yang hancur hatinya karena-Nya. Bahwa jalan menuju-Nya tak selalu mulus, tak selalu logis. Kadang berkelok, kadang gila dalam pandangan manusia.
Jejak Wali-Wali yang Terlupakan
Bagi sebagian besar masyarakat, sosok seperti Tete Tu hanya dianggap “orang gila”. Namun dalam khazanah Islam klasik, kita mengenal mereka sebagai ahlullah—kekasih Allah yang tersembunyi. Mereka yang tak dikenal di bumi, namun terkenal di langit. Mereka yang tidak duduk di mimbar, tapi hatinya lebih dekat kepada Allah daripada ribuan yang pandai bersyarah.
Mereka menyembunyikan kesalehan di balik kegilaan, menyembunyikan cahaya di balik kabut. Dan Tete Tu adalah satu dari mereka—bisa jadi, yang tersisa dari barisan wali yang menyemai doa di tanah Bacan yang suci.
Menunduk di Hadapan yang Tak Terpahami
Kita sering kali tertipu oleh penampilan. Kita menyangka akal adalah puncak kebenaran, padahal ia hanya lentera kecil dalam gua gelap kehidupan. Dalam diri Tete Tu, kita belajar untuk menunduk. Bahwa ada jalan yang tak dapat dilihat oleh mata biasa, tapi terbentang luas bagi mereka yang berjalan dengan hati.
Ia mungkin tidur di trotoar, tapi hatinya rebah di pelataran langit. Ia mungkin tertawa sendiri, tapi mungkin sedang dibisikkan rahasia oleh para malaikat. Dan kita? Kita yang sibuk menilai dan membandingkan, barangkali justru sedang jauh dari Allah, karena terlampau sibuk menjadi benar di mata manusia.