Nelayan yang Tersingkir
Ketika Laut Tak Lagi menjawab Panggilan
“Kami ini anak laut. Tapi sekarang, laut bukan lagi tempat pulang.”— Nelayan Obi
Mentari belum sepenuhnya terbit di ufuk timur ketika ketikanseorang nelayan (53) mendorong perahunya dari pesisir Desa, Pulau Obi, Halmahera Selatan. Di bawah langit kelabu dan laut yang mulai berlumpur, ia mengayuh tanpa harapan pasti. Dulu, dalam waktu kurang dari satu jam, ia bisa pulang dengan ember penuh ikan. Kini, ia mesti menempuh jarak berkilo-kilo, menantang ombak, hanya untuk sekantong ikan yang tak seberapa.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Laut Obi telah berubah. Dulu, ia adalah ruang hidup. Kini, laut telah menjelma menjadi batas baru antara yang bertahan dan yang terpinggirkan.
Dari Sumber Penghidupan ke Zona Terlarang
Di sepanjang pesisir barat Obi, aktivitas industri pertambangan nikel milik perusahaan afiliasinya telah membentuk lanskap baru. Dermaga tambang berdiri megah, kapal tongkang lalu-lalang, dan kawasan industri dikawal ketat.
Sebagian wilayah yang dahulu digunakan nelayan sebagai area tangkap kini ditetapkan sebagai zona larangan. Nelayan yang mendekat bisa dianggap sebagai pelanggar. “Kita tidak bisa sembarang melaut lagi. Banyak lokasi tangkap yang ditutup. Kami takut dituduh masuk zona industri,” ujar nelayan muda dari Desa Sambiki.
Akibatnya, wilayah jelajah nelayan semakin sempit. Ditambah lagi, sedimentasi dan pencemaran air laut akibat aktivitas reklamasi dan pembuangan limbah tambang membuat ekosistem pesisir rusak. “Karang sudah banyak mati. Air keruh. Ikan menjauh,” lanjutnya.
Tradisi yang Tergerus
Di balik pukat dan jaring, kehidupan nelayan Obi sarat dengan tradisi. Ada ritual sebelum melaut, ada bahasa isyarat di tengah gelombang, ada budaya saling bantu saat satu perahu tertimpa musibah.
Namun, di era tambang, itu semua perlahan memudar. Anak-anak nelayan yang dulu belajar membaca bintang dan memahami arus kini diarahkan untuk mendaftar sebagai buruh tambang. “Anak saya sudah tidak tahu cara memperbaiki jaring. Tapi dia tahu cara mengoperasikan dump truck,” kata mereka lirih.
Bahkan, hari-hari besar nelayan seperti mandohi laut—ritual syukuran laut yang biasa digelar tiap tahun—mulai hilang dari ingatan kolektif.
Dari Pemilik ke Penonton
Ironisnya, para nelayan yang telah ratusan tahun menjaga laut Obi kini merasa seperti tamu di tanah sendiri. “Kami tidak anti tambang. Tapi jangan sampai kami yang dulu punya semuanya, kini cuma jadi penonton,” ucap seorang tokoh adat di Desa Soligi.
Beberapa warga telah mencoba alih profesi. Tapi tidak semua berhasil. Sebagian dari mereka tidak memiliki keahlian teknis yang dibutuhkan industri. Mereka hanya bisa jadi buruh harian lepas dengan upah pas-pasan dan tanpa jaminan kerja.
Perempuan Pesisir yang Ikut Terdampak
Tak hanya nelayan laki-laki yang terdampak. Para perempuan pesisir yang biasa mengolah ikan, menjual hasil laut di pasar, atau membuat abon dan ikan kering kini kehilangan mata pencaharian.
Ibu dua anak dari Desa Kawasi, mengaku pendapatannya turun drastis. “Dulu suami bawa ikan pulang, saya bisa olah, bisa jual. Sekarang mau olah apa? Tidak ada hasil,” katanya sambil menunjukkan rak jemur ikan yang kini kosong.
Infografis Pendukung (untuk versi visual):
- 📉 Penurunan hasil tangkapan nelayan 2018–2024
- 🛑 Wilayah tangkap yang kini menjadi zona industri (peta overla
- 🗣️ Kutipan tokoh nelayan & pemuda desa Obi
Di Simpang Jalan
Nelayan-nelayan Obi hari ini berdiri di simpang jalan sejarah: antara bertahan dalam tradisi atau beradaptasi dalam ketidakpastian. Mereka tidak menolak pembangunan, tidak pula memusuhi investasi. Yang mereka tuntut hanyalah satu: keadilan dalam pembangunan.
Sebab ketika laut sudah tak lagi menjawab panggilan mereka, siapa yang akan memulihkan suara-suara sunyi di pesisir ini?