tajukmalut.com | Halmahera Selatan, 20 September 2025- Meski kegiatan retret desa diklaim mampu menyamakan visi dan misi Bupati dan Wakil Bupati Halmahera Selatan, khususnya terkait program agromaritim, sejumlah pihak menilai kegiatan tersebut justru berpotensi berhenti pada seremonial belaka.
Retret desa yang digadang-gadang sebagai ruang pembelajaran bagi para kepala desa dianggap tidak menyentuh persoalan mendasar, seperti lemahnya kapasitas teknis aparatur desa, minimnya transparansi pengelolaan Dana Desa, serta ketidaksiapan infrastruktur pendukung perencanaan dan penganggaran.
Cristovan memang menekankan pentingnya penyusunan perencanaan dan penganggaran Dana Desa. Namun, secara teknis, problem utama justru terletak pada inkonsistensi antara siklus Musyawarah Desa (Musdes) dan arahan struktural dari Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD).
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Fakta di lapangan menunjukkan, sejumlah desa sudah lebih dulu menyelesaikan Musdes dan menetapkan prioritas anggaran. Lalu muncul pertanyaan mendasar:
1. Jika agenda retret menghadirkan ploting program baru, dari mana dasar hukumnya?
2. Apakah kepala desa harus berhutang lebih dahulu, lalu menutup defisit itu di Musdes berikutnya?
3. Ataukah keputusan Musdes yang sah secara hukum bisa dibatalkan oleh intervensi DPMD?
Pertanyaan ini bukan sekadar teknis administratif, melainkan menyentuh aspek teoritis tentang kedaulatan rakyat desa sebagaimana dijamin oleh *pUU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Menurut teori good governance**, Musdes adalah forum deliberatif yang merepresentasikan suara masyarakat desa. Intervensi dari DPMD tanpa landasan regulasi yang jelas justru mencederai prinsip **subsidiaritas**—yakni pendelegasian kewenangan yang harus diberikan ke unit paling bawah (desa) agar mampu mengurus dirinya sendiri.
Dari pendekatan teknis perencanaan pembangunan, inkonsistensi ini juga mengacaukan siklus perencanaan–penganggaran–pelaksanaan–pertanggungjawaban (planning cycle). Dalam teori **manajemen pembangunan daerah, setiap perubahan harus berbasis pada evidence-based planning dan participatory budgeting. Jika Musdes sudah menetapkan prioritas, maka perubahan hanya dapat dilakukan melalui mekanisme Musdes ulang, bukan instruksi struktural semata.
Alih-alih fokus pada retret yang bernuansa simbolik, pemerintah daerah seharusnya menekankan:
- Penguatan sistem monitoring Dana Desa berbasis digital dan transparan.
- Kapasitas teknokratis kepala desa dalam menyusun RKPDes dan APBDes sesuai siklus.
- Revitalisasi Musdes sebagai forum partisipatif, bukan sekadar formalitas.
Tanpa itu semua, efektivitas pembangunan desa hanya akan terjebak dalam kebijakan top-down yang tidak berkelanjutan, serta melahirkan krisis legitimasi di tingkat desa.(red)