tajukmalut.com | Halmahera Selatan – Program yang digagas Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Kabupaten Halmahera Selatan kembali menuai sorotan tajam. Kegiatan yang dipatok Rp25 juta per desa atau total Rp6,2 miliar dari 249 desa, dilaksanakan di Jatinangor, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, dinilai tidak produktif dan berpotensi menjadi pemborosan anggaran.
Ketua LSM Sigaro Research, Sugiarto M. Taher, menilai kegiatan tersebut tidak transparan dan sama sekali tidak menyentuh kebutuhan desa. Menurutnya, program yang diklaim sebagai penguatan tata kelola pemerintahan desa itu tidak pernah disosialisasikan lebih dulu ke desa.
“Ini jelas janggal. Desa tiba-tiba dibebani Rp25 juta tanpa penjelasan rinci manfaatnya. Kalau kegiatan ini tidak memberi dampak langsung bagi masyarakat, maka sama saja dengan membuang anggaran miliaran rupiah,” tegas Sugiarto, (Rabu 17/09/2025).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ia menambahkan, dokumen resmi menunjukkan adanya kerja sama dengan IPDN melalui skema PNBP Kementerian Dalam Negeri senilai Rp4 juta per desa. Namun DPMD justru mematok Rp25 juta per desa.
“Ada selisih besar yang tidak jelas arahnya. Potensi pungutan liar terbuka lebar,” ujarnya.
Lebih jauh, Sugiarto menyoroti alasan pelaksanaan kegiatan di luar daerah. Menurutnya, jika tujuan kegiatan adalah memperkuat kapasitas pemerintahan desa, maka pelaksanaan di Halmahera Selatan akan lebih relevan sekaligus berdampak pada perputaran ekonomi lokal.
“Kenapa harus di Jatinangor? Kalau memang serius memperkuat desa, bawa saja pematerinya ke Halsel. Biar mereka lihat langsung kondisi sosial-budaya kita, dan uang Rp6,2 miliar itu berputar di daerah, bukan di luar. Masyarakat kita lagi susah, sementara uang malah dihamburkan di luar daerah,” tandasnya.
Sugiarto juga menyinggung sikap Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI) Halsel yang dinilai pasif dan tidak peka terhadap persoalan ini.
“APDESI harusnya ada di garda depan untuk membela kepentingan desa. Tapi yang terjadi, mereka justru diam seolah kehilangan peran. Ini ironis, padahal setiap desa kini sedang menghadapi banyak kendala di lapangan,” kata Sugiarto.
Ia menilai langkah DPMD dan sikap diam APDESI berpotensi melemahkan desa dan hanya membebani aparatur tanpa solusi nyata.
“Dana desa bukan untuk diperas. Jika pola seperti ini dibiarkan, maka desa hanya akan menjadi korban birokrasi dan desa tidak akan pernah berdaya,” pungkasnya. (red)