Di ujung tenggara Halmahera Selatan, tempat laut berwarna zamrud mencium pasir putih yang tak terjamah, berdiri sebuah desa yang seakan lahir dari mimpi purba: Gonone, Kecamatan Kepulauan Joronga.
Dari pusat ibu kota kabupaten, Labuha, jaraknya tak dekat—deretan pulau, ombak yang terkadang garang, dan angin asin menjadi penanda perjalanan panjang menuju desa ini. Namun siapa saja yang pernah menjejakkan kaki di Gonone akan mafhum, setiap liku perjalanan adalah harga yang pantas dibayar untuk menyaksikan keagungan bentang laut yang masih polos.
Gonone memeluk laut seperti seorang ibu yang menenangkan anaknya. Di sini, laut bukan sekadar hamparan air, melainkan panggung maha luas bagi ikan-ikan karang yang menari tanpa takut. Ketika perahu kayu nelayan merapat, pengunjung akan disambut panorama terumbu karang yang berkilau dalam kejernihan air. Pagi hari, sinar matahari menembus hingga ke dasar, menyingkap biota laut yang berwarna-warni.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Tak jauh dari bibir pantai, batu karang raksasa berdiri bak menara, dihiasi alga yang meliuk. Tempat itu menjadi spot penyelaman yang mulai dipuji para penyelam lokal—sebuah taman bawah laut yang masih utuh, seakan disengaja Tuhan untuk disimpan lama-lama sebelum dibagikan pada dunia.
Pohon Kurma dan Riwayat yang Berakar Dalam
Di balik keelokan laut, Gonone juga punya rahasia hijau yang tumbuh tenang: Pohon Kurma, sejenis pohon yang batangnya tegap, akarnya kuat mencengkeram tanah, dan daunnya rimbun bagai payung alam. Pohon ini bukan sekadar tumbuhan—ia adalah penanda bagi sejarah besar yang pernah ada di Gonone.
Cerita yang diwariskan turun-temurun mengisahkan bahwa kurma itu berasal dari tanah Arabia, dibawa oleh penyiar agama di perairan Joronga berabad-abad silam. Biji kurma ditanam dengan harapan menjadi tanda pertemuan peradaban, dan di tanah jauh ini pohon itu tumbuh, berbunga, lalu berbuah seakan meneguhkan jejak masa lampau.
Duduk di bawah rindangnya bercerita tentang leluhur yang datang berperahu, membuka lahan, dan bersumpah menjaga laut selamanya. Cerita itu mengalir dari mulut ke mulut, menjadi bagian dari adat yang masih dipegang teguh hingga kini. Selagi kurma berdiri, selagi itu pula desa dipercaya akan tetap lestari.
Laut, perahu nelayan Gonone berangkat satu per satu. Mereka tak hanya mencari rezeki; mereka merawat tradisi. Hasil tangkapan—ikan kerapu, kakap merah, udang karang—menjadi nadi ekonomi desa yang sederhana tapi menghidupi banyak keluarga.
Sebagian nelayan mulai mempelajari teknik pengolahan hasil laut agar nilai jualnya lebih tinggi. Ada harapan bahwa ke depan, Gonone tak hanya dikenal karena keindahan pantainya, melainkan juga produk perikanan berkualitas yang membawa nama Halmahera Selatan ke pasar yang lebih luas.
Adat yang Masih Dijaga
Di era ketika banyak desa tercerabut dari akarnya, Gonone tetap memeluk adat dengan teguh. Upacara syukuran laut, ritual tolak bala, dan pesta panen masih dilangsungkan. Anak-anak tumbuh dalam cerita tua dan petuah bijak.
Malam hari, ketika generator dimatikan dan listrik padam, cahaya bintang yang tumpah di langit Gonone seolah mengingatkan siapa saja bahwa desa ini adalah harta karun yang belum sepenuhnya terkuak.
Kelak, saat lebih banyak pelancong singgah, Gonone barangkali akan menjadi nama baru dalam peta wisata Nusantara. Namun bagi penduduknya, desa ini sejak lama sudah menjadi pusat dunia—tempat laut, pohon kurma, dan adat leluhur berpadu dalam satu harmoni yang menenangkan.