CITRA VS REALITA: MENYINGKAP FRAMING KERUSAKAN EKOLOGI DI MALUKU UTARA

Selasa, 10 Juni 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Di balik wajah Maluku Utara yang kerap digambarkan sebagai wilayah eksotis nan kaya akan sumber daya alam, tersembunyi luka ekologis yang kian menganga. Dari tambang nikel yang terus menggali perut bumi hingga ekspansi industri yang menekan ruang hidup masyarakat lokal, kenyataan di lapangan sering kali jauh berbeda dari citra yang dipromosikan secara resmi oleh pemerintah dan korporasi. Dalam dinamika ini, media memiliki peran vital sebagai pembentuk persepsi publik, baik sebagai pengungkap kebenaran maupun sebagai agen pembenaran atas kerusakan yang terjadi.

Dalam berbagai rilis resmi dan publikasi media arus utama, kerusakan ekologi di Maluku Utara kerap dibingkai sebagai “risiko pembangunan” yang dapat dikompensasi dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi dan serapan tenaga kerja. Industri tambang, misalnya, dipromosikan sebagai pilar kemajuan daerah—memberikan kontribusi bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD), membuka lapangan kerja, dan mendukung pembangunan infrastruktur. Namun, apakah narasi ini benar-benar mewakili kondisi di lapangan? Ataukah ia adalah bagian dari upaya framing yang disengaja untuk menutupi kerusakan sistemik terhadap lingkungan?

Realita di balik citra tersebut adalah kenyataan getir yang dirasakan oleh masyarakat lingkar tambang dan pesisir. Sungai-sungai tercemar limbah tambang, lahan pertanian produktif menjadi gersang, dan hasil laut menurun drastis akibat sedimentasi dan pencemaran. Konflik lahan antara masyarakat adat dengan perusahaan menjadi semakin intens, dan ruang hidup yang selama ini menjadi sumber penghidupan berangsur menghilang. Dalam banyak kasus, masyarakat tidak mendapatkan ruang partisipasi dalam pengambilan keputusan, bahkan informasi pun kerap disembunyikan dari mereka.

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Lebih menyedihkan lagi, kerusakan ini sering kali tidak diangkat secara utuh dalam pemberitaan media. Alih-alih menyuarakan penderitaan masyarakat, sebagian media justru mereproduksi narasi perusahaan dan pemerintah. Mereka berbicara tentang “kemajuan”, “investasi hijau”, dan “tanggung jawab sosial perusahaan”, sembari menyingkirkan atau mereduksi suara warga yang terdampak. Di sinilah framing bekerja: bukan hanya memengaruhi apa yang dipikirkan publik, tetapi juga bagaimana publik memikirkannya.

Framing bukan sekadar teknik jurnalisme, melainkan alat kekuasaan yang digunakan untuk mengarahkan opini publik. Dalam konteks kerusakan ekologi di Maluku Utara, framing sering kali digunakan untuk menciptakan dikotomi palsu antara pembangunan dan kelestarian lingkungan. Masyarakat yang menolak aktivitas tambang diposisikan sebagai “anti kemajuan” atau “tidak memahami kepentingan nasional”. Sementara itu, perusahaan yang merusak lingkungan dibingkai sebagai “pahlawan pembangunan” yang telah berjasa menggerakkan ekonomi lokal.

Dalam kajian komunikasi, hal ini dikenal sebagai agenda setting dan priming. Media, secara sadar atau tidak, memutuskan isu mana yang layak ditampilkan dan bagaimana isu itu diceritakan. Dalam banyak kasus, framing yang dibangun lebih berpihak pada kekuatan modal dan kekuasaan daripada pada keadilan ekologis dan sosial. Ironisnya, ini terjadi di wilayah yang memiliki sejarah panjang perjuangan rakyat dan relasi harmonis antara manusia dan alam.

Menghadapi kenyataan tersebut, perlu ada upaya sadar untuk membangun narasi tandingan yang berangkat dari pengalaman masyarakat terdampak. Akademisi, aktivis, jurnalis independen, dan komunitas lokal harus mengambil peran sebagai penjaga nurani ekologis. Mereka harus menarasikan kembali kenyataan dari sudut pandang korban, bukan dari kacamata korporasi atau elite politik.

Perlu ada ruang diskursus yang jujur dan terbuka, seperti yang difasilitasi oleh Forum Studi Anak Sastra (FORSAS-MU) dalam diskusi ini, yang menggali lebih dalam bukan hanya soal apa yang terjadi, tetapi bagaimana dan mengapa kenyataan tersebut bisa ditutupi oleh lapisan-lapisan citra yang menyesatkan. Dalam konteks ini, kesadaran kritis menjadi alat utama untuk membedakan fakta dari ilusi, dan realita dari rekayasa informasi.

Kerusakan ekologi bukan sekadar krisis lingkungan, tetapi juga krisis keadilan. Ketika bumi dirusak atas nama pembangunan, yang paling menderita bukanlah mereka yang mengambil keputusan, tetapi mereka yang tidak pernah diajak bicara. Oleh karena itu, ke depan, perlawanan terhadap framing harus dibarengi dengan kerja-kerja pengorganisasian rakyat, advokasi kebijakan, dan transformasi wacana di ruang publik.

Kita tidak bisa terus-menerus membiarkan citra menggantikan kenyataan. Sudah saatnya realita berbicara lebih lantang dari propaganda. Maluku Utara berhak atas pembangunan yang adil dan berkelanjutan—pembangunan yang tidak mengorbankan lingkungan demi angka-angka ekonomi yang semu.

 

Komentar

Berita Terkait

Ajhustal Hi Abang: Potret Pemuda Progresif yang Siap Menjadi Nahkoda KNPI Kabupaten Halmahera Utara
Diduga Sarat Kepentingan, Rekrutmen Fasilitator Program TEKAD di Maluku Utara Dikecam Publik
Gonone: Sepotong Surga yang Menyimpan Harta Karun Laut dan Jejak Leluhur
Seri-1; Wajah Tambang
Tete Tu: Jadzab di Tengah Samudra Tuhan
Wamendagri Bima Arya: Koperasi Desa Merah Putih Jadi Solusi Fundamental Pertumbuhan Ekonomi Desa
Berita ini 50 kali dibaca

Berita Terkait

Selasa, 16 September 2025 - 10:48 WIT

Ajhustal Hi Abang: Potret Pemuda Progresif yang Siap Menjadi Nahkoda KNPI Kabupaten Halmahera Utara

Jumat, 18 Juli 2025 - 08:21 WIT

Diduga Sarat Kepentingan, Rekrutmen Fasilitator Program TEKAD di Maluku Utara Dikecam Publik

Senin, 30 Juni 2025 - 11:45 WIT

Gonone: Sepotong Surga yang Menyimpan Harta Karun Laut dan Jejak Leluhur

Selasa, 24 Juni 2025 - 15:23 WIT

Seri-1; Wajah Tambang

Selasa, 24 Juni 2025 - 05:57 WIT

Tete Tu: Jadzab di Tengah Samudra Tuhan

Selasa, 10 Juni 2025 - 03:45 WIT

CITRA VS REALITA: MENYINGKAP FRAMING KERUSAKAN EKOLOGI DI MALUKU UTARA

Sabtu, 19 April 2025 - 01:54 WIT

Wamendagri Bima Arya: Koperasi Desa Merah Putih Jadi Solusi Fundamental Pertumbuhan Ekonomi Desa

Berita Terbaru