Jainul Yusup & Ilham Mahmud
Karya penelitian Leontine Visser tentang masyarakat pertanian Sahu yang berjudul Sejarah dan kebudayaan Sahu, Halmahera banyak mengungkapkan realitas budaya dan nilai masyarakat lokal. Penelitian ini sendiri berasal dari disertasi di Universitas Leiden, Mijn tuin is mijn kinderen, een antropologische studie van de droge rijstteelt in Sahu, Indonesie pada tahun 1984, yang baru diterjemahkan tahun 2017 oleh Penerbit Ombak.
Karya ini sendiri merupakan suatu karya etnografi di tahun 1980an atau pada periode dimana modernisasi masih merupakan masa transisi dan masyarakat pedesaan Halmahera masih banyak menggunakan berbagai nilai dan norma tradisional Halmahera. Tidak hanya itu karya ini menunjukan bagaimana Mata Pencaharian padi ladang, yang pada masa itu merupakan mata pencaharian utama masyarakat pedesaan berbasis agrikultur seperti Sahu, Galela, dan Makian, meskipun fokus penelitian ini adalah Sahu, rupanya mampu menjadi fondasi dan landasan dari berbagai nilai dan norma. Hal ini tampak dari berbagai implikasi dari sistem pertanian swidden cultivation masyarakat Sahu tradisional yaitu berkenaan dengan sistem religi, organisasi sosial, sistem kekerabatan yang berpengaruh pada pernikahan, perceraian, pola pemukiman, pengetahuan, kesenian, hingga sistem pemukiman post pernikahan, dan lain-lain.
Minuman Tradisional Saguwer
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Berkenaan dengan tema minuman alkohol tradisional yang menjadi fokus penelitian saya secara pribadi menunjukan hal signifikan. Pada masyarakat tradisional di Sahu khususnya, dan Maluku Utara umumnya, sesungguhnya hanya mengenal dari hasil rendaman air nira semata. Bahasa lokal untuk jenis minuman ini adalah saguer atau sageru yang merupakan hasil fermentasi natural dari rendaman air nira dan hasil dapan tanaman (Arenga pinnata) dari suku Arecaceae (pinang-pinangan).
Air hasil sadapan dimasukan ke dalam bambu guna disimpan dalam tabung bambu dan biasanya dikubur di dalam tanah. Hal ini dikarenakan menjaga suhu agar terkendali guna perkembangbiakan mikroba Saccharomycess cereviseae pada kisaran 27-32˚C. Durasi fermentasi dilakukan selama 3-14 hari dengan perbandingan kian lama maka tingkat alkohol kian meningkat, namun jika terlalu lama mikroba akan mati, dengan perbandingan lama penyimpanan dan kadar alkohol hari ke 5= 8,1512%, 7=9,117%, dan 10=11,615%. Air aren yang mengandung glikosis atau asam piruvat, molekul gula, sekitar 10-15% menjadi bahan baku utama. Secara kimiawi perubahan C6H12O6 + 2 ADP + 2Pi + 2 NAD+ → 2 CH3COCOO- + 2 ATP + 2 NADH + 2 H+. 2H+ sendiri dianggap sebagai alkohol dengan rumusan kimiawi CH3CH2OH atau golongan alkogol kedua yang memiliki tambahan unsur Oksigen. Hal ini mengindikasikan bahwa saguwer umumnya memiliki kisaran alkohol sekitar 7-12% part per million alkohol tentu tidak sekuat kadar alkohol cap tikus sebagaimana yang kini telah umum dianggap sebagai minuman keras.
Fungsi Sosio Kultural
Pada karya Leontine Visser sendiri, saguwer kemudian menjadi salah satu instrumen penting pada masayarakat melakukan kegiatan keseharian. Tidak hanya itu saguwer memiliki peran penting dalam proses keseharian. Pada siklus pertanian swidden cultivation, peran saguwer telah dimulai sejak periode penanaman. Saguwer tidak hanya diperkenalkan sebagai minuman tetapi memiliki simbol dan nilai budaya. Dalam sistem swidden cultivation, Leontine Visser menceritakan bahwa sistem penanaman dilakukan secara kolektif dan komunal tergabung dalam sistem ketenagakerjaan berbasis kekerabatan. Pada saat penanaman pada masyarakat Sahu tradisional, biasanya akan disertai dengan makan-makan besar dan minum saguwer sepuasnya. Bahkan jika berkenan dapat dimuntahkan. Hal ini menunjukan adanya konsep fertilitas yang merupakan salah satu upaya untuk memperoleh hasil panen yang baik selain pengetahuan lokal tentang iklim, cuaca, kontur tanah, dan religi yang tidak dibahas dalam artikel ini.
Peran penting saguwer lainnya dalam sistem swidden cultivation adalah bagaimana saguwer merupakan unsur penting dalam pesta post-harvest. Pesta panen adalah puncak dari seluruh siklus komunal dengan melibatkan seluruh unsur dari kelompok rera dan garana yang menjadi satuan organisasi khas Sahu dan barangkali dapat disejejarkan dengan konsep desa. Pada titik ini, saguwer benar-benar memainkan peran penting yang merupakan pengikat dalam sistem komunal. Saguwer seringkali dikonseptiualisasikan menjadi simbol interaksi antara para penghuni desa, baik pria maupun wanita.
Kedekatan atau keakraban antar personal bahkan dianalogikan dalam saguwer itu sendiri. Hal yang umum terjadi pada masyarakat Sahu tentang interaksi antar persona adalah bagaimana mereka memahami hubungan disosiatif. Analogi bahwa saling berbagi gelas saguwer ataupun jangan sampai bambu saguwer pecah atau retak merupakan ungkapan umum yang telah berlaku umum. Tak hanya itu, bahkan pada masyarakat tradisional di abad ke-19, penduduk di Halmahera mempercayai salah satu roh animisme yang dianggap dapat menambah volume air sadapan nira itu sendiri.
Kehadiran saguwer sebagai konsumsi keseharian Film dokumenter karya Sinta Jouwersma dan Leontine Visser berjudul Sahu Harvest Festival yang berbahasa Inggris, menunjukan bahwa konsumsi saguwer telah umum dikonsumsi baik pria maupun wanita, dan tidak mengenal gender. Hal inilah yang menjadi bahan renungan untuk memahami bahwa ada suatu periode dimana suatu fenomena saguwer pernah menjadi fenomena hidup di masa lalu.*