Asyudin La Masiha
Belakangan ini publik hangat dengan narasi Daerah Otonomi Baru (DOB), baik warung kopi, ataupun media online ramai diperbincangkan dari berbagai kalangan baik pengamat kebijakan, politisi, akademisi, juga mahasiswa yang mendaulat diri sebagai aktivis. Tak sungkan-sungkan element strategis hadir membersamai wacana DOB. Ini bukan semata momentum kesementaraan, melainkan realitas dari kondisi objektif yang memantik tuntutan DOB.
Maluku Utara bagai dihujani bom, bukan lagi sebatas opini akan tetapi lebih jauh terakomudir dalam kebijakan. Keberadaannya semacam menghendaki peralihan, tapi itulah kenyataanya. Kiranya tidak “seksi” bila tak menarik perhatian.
Status Sofifi adalah satu diantara dari DOB itu, namun yang tak kalah menarik adalah kondisi di Selatan Halmahera. Apabila Sofifi terjadi tarik menarik antar daerah, di Halmahera Selatan lain cerita. Tarik ulur itu terjadi dalam internal yang konon representatif dari kedaulatan rakyat. Hal itu nampak dari dua kali Paripurna pembentukan PANSUS, dua kali pula menemui kegagalan.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Keberadaan qorum adalah normalitas serta syarat dari keputusan, namun bagaimana jika kondisi qorum dikendarai kepentingan segelintir? Hal demikianlah yang menjadi kewaspadaan. Dua kali paripurna seakan mencerminkan ketiadaan ikhtikad baik.
Sama seperti daerah lain, Kepulauan Obi telah menanti pemekaran. Terhitung semenjak Pemekaran Kabupaten Halmahera Selatan, Obi telah menanamkan niat menjadi daerah yang otonom. Koordinasi dan konsolidasi tak tanggung-tanggung dilakukan demi tercapainya cita-cita pemekaran, forum demi forum dibentuk, gerakan demi gerakan dilakukan.
Empat tahun mempersiapkan diri, 2007-2008 menjadi moment penting perjuangan. Bersama dengan daerah lain di Maluku Utara, Obi menuntut pemekaran namun sayang terkatung-katung dan jalan sendiri dalam medan juang karena kekuatan politik yang lemah. Sekali lagi, bukan perjuangan jika ciut karena sekali gagal. Kembali teriakan pemekaran di gaungkan sejak 2011-2012, kali ini bersama Taliabu dengan awalnya star bersama Morotai. Dan miris, kekuatan politik tak membersamai solidaritas masyarakat sebagai kekuatan, kembali naas Obi tak seberuntung daerah tetangganya Taliabu yang berhasil mekar sedangkan Obi kembali menemui kegagalannya.
Menjadi daerah otonomi tak pudar, ia awat dalam cita dan ingatan masyarakat Obi. Di tengah marak dan kuatnya tuntutan pemekaran, masyarakat kembali menyalakan lilin harapan itu. Desakan demi desakan bermunculan dari berbagai kalangan sebagai repserentasi aspirasi masyarakat Obi pada Umumnya.
Sekali lagi koordinasi dan konsolidasi dilakukan, namun sayang beribu sayang, harapan itu mentok di meja kong kali kong. Dua kali kegagalan paripurna pembentukan PANSUS bukanlah hal normal lagi, apalagi perkaranya adalah tidak terpenuhinya Qorum. Padahal jelas dari paripurna pertama, sinyalnya jelas bahwa mesti paripurna selanjutnya qorum tidak lagi menjadi alasan dari gagalnya paripurna.
Bagaimana melihat dan menilai ketidak normalan ini? Mungkinkah Ketiadaan rasa ikhlas pemda Halmahera Selatan akan Obi menjadi daerah otonom? Atau mungkin ada peran dan posisi politik yang akan hilang dengan munculnya aktor politik baru? Dan deretan hipotesa-hipotesa lainnya sehingga ketidakhadiran sebagian fraksi di DPRD Halmahera Selatan menjadi alasan kegagalan Paripurna. Yang lebih disayangkan lagi adalah apabila ketidakhadiran fraksi yang didalamnya ada putra daerah Obi, ini teramat miris.
Lantas bagaimana patutnya masyarakat Obi bersikap? Akankah membiarkan sejarah kehilangan maknanya karena perjuangan telah dihentikan, atau sebaliknya memberi isyarat perjuangan kepada hidup hari ini dan generasi akan datang. Saatnya Masyarakat Obi memilih jalan untuk diri dan daerahnya, membiarkan kepentingan segelintir elit membunuh cita dan harapan pemekaran atau sebaliknya sinyal dan alaram perjuangan harus digaungkan kembali.
Segela element strategis di tengah-tengah masyarakat Obi, patutnya memainkan perannya. Politisi, Akademisi, Mahasiswa, dan lembaga Swadaya Masyarakat saatnya hadir memberikan ultimatum, bila kekuatan politik yang harusnya mendukung justru memilih bersebrangan, maka Parlemen Jalanan akan menjad kekuatan politik itu.
Telah lama masyarakat dan Obi diasingkan dari pembangunan, dianak tirikan oleh pemerintah,. Obi hanya menjadi dapur yang sesekali ditengok kesediaan sumber dayanya, namun tiada dihiasi dengan pembangunan dan kesejahteraan. Mereka hanya sebatas membangun di Obi tapi tidak membangun Obi.
Terakhir, “Jangan mati sebelum berarti, karena sekali berarti sesudah itu (bukan) berarti mati”. PEMEKARAN HARGA MATI.