Oleh; AHMAD R. IDIN
Politik Maluku Utara hari ini hidup dalam suasana yang aneh: para wakil rakyat terlihat hadir, tetapi suara mereka jarang terdengar. Ruang publik penuh riuh, tetapi diskusinya sunyi. Yang terdengar justru bunyi dentum buzzer yang bekerja seakan hidup mereka hanya untuk menjaga agar kekuasaan tetap tampak mulus dan bebas cela. Di tengah atmosfer kepatuhan semu itulah keberanian menjadi barang langka, hampir seperti fosil yang tersisa dari zaman ketika politik masih dimaknai sebagai perjuangan moral, bukan sekadar pertunjukan pencitraan.
Di tengah kelangkaan itulah muncul keberanian Nazlatan Ukhra Kasuba, sosok yang memilih bersuara saat yang lain memilih bungkam. Keberaniannya bukan lahir dari kekuasaan, tetapi dari sesuatu yang jauh lebih mahal nilainya: integritas untuk tidak membiarkan demokrasi Maluku Utara jatuh menjadi panggung monolog satu arah. Ia mengkritik, dan kritiknya disambut serangan buzzer, seakan keberanian berbicara adalah dosa terbesar dalam politik hari ini. Namun justru karena itulah sikapnya menjadi penting.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Banyak anggota dewan tahu persoalan publik. Mereka tahu kebijakan mana yang patut ditinjau ulang, mana yang tidak berjalan sesuai kebutuhan rakyat, mana yang sebenarnya harus disorot. Namun pengetahuan itu mereka simpan seperti rahasia gelap yang tak boleh keluar dari batas dinding kantor. Bukan karena mereka setuju dengan segala hal, tetapi karena mereka takut. Takut diserang. Takut dipelintir citranya. Takut menjadi sasaran amuk akun-akun anonim yang lebih loyal kepada kekuasaan daripada kepada kebenaran. Akibatnya, dewan yang seharusnya menjadi ruang penyeimbang justru berubah menjadi barisan hening yang sibuk menyelamatkan diri masing-masing.
Kehadiran Nazlatan justru memperlihatkan betapa seriusnya krisis keberanian itu. Ia menjadi cermin yang memantulkan pertanyaan yang barangkali paling ditakuti banyak politisi: jika satu orang bisa bersuara, mengapa kalian memilih diam? Pertanyaan ini menyakitkan karena ia menggugah kenyamanan. Diam tidak lagi dapat disamarkan sebagai kehati-hatian; ia berubah menjadi tanda bahwa sebagian wakil rakyat lebih takut kepada buzzer daripada bertanggung jawab kepada publik.
Kritik yang disampaikan Nazlatan terhadap kebijakan gubernur bukanlah upaya mencari panggung. Ia tidak berbicara dalam rangka menciptakan sensasi, karena sensasi justru membahayakan bagi siapa pun yang berani melawan arus dominan. Kritik itu lahir dari kesadaran dasar bahwa wakil rakyat tidak boleh bertransformasi menjadi pasukan protokol istana yang tugasnya hanya menyetujui dan memuji. Politik yang sehat tidak dibangun dari keseragaman, apalagi dari ketundukan. Ia tumbuh dari keberanian berbicara dan ketegasan meletakkan kepentingan publik di atas kenyamanan politik.
Keberanian Nazlatan juga mengungkap ilusi besar dalam politik Malut belakangan ini: ilusi bahwa harmoni dapat tercipta jika semua orang diam. Padahal harmoni itu semu. Di permukaan tampak tenang, tetapi di dalamnya penuh kegelisahan yang tak tersuarakan. Kritik yang dibungkam bukan membuat kebijakan menjadi baik, tetapi hanya menunda masalah. Akhirnya publik hanya memperoleh pemerintahan yang dikelilingi tepuk tangan palsu, sementara problem nyata dibiarkan membusuk di balik layar.
Inilah sebabnya sikap Nazlatan terasa provokatif: ia tidak hanya berbicara kepada kekuasaan, tetapi sekaligus menampar kesadaran kolektif para politisi yang enggan melawan arus. Keberaniannya seperti palu yang menghantam meja rapat dan memecah keheningan yang terlalu lama dianggap normal. Ia mengingatkan bahwa dewan bukan kantor sunyi, melainkan ruang dialektika. Rakyat tidak memilih mereka untuk menjadi diam, tetapi untuk menjadi penyangga, pengawas, dan pengingat bagi pemerintah agar tetap berada pada rel yang lurus.
Maluku Utara tidak akan maju jika kritik diperlakukan sebagai ancaman. Tidak ada peradaban yang berdiri di atas pujian semu. Setiap daerah yang ingin berkembang harus membangun budaya politik yang berani menampung gesekan. Karena hanya dari gesekanlah gagasan menjadi matang, kebijakan menjadi kuat, dan demokrasi menjadi sehat. Dan keberanian untuk mengkritik, meski menjadi sasaran amuk buzzer, adalah fondasi dari seluruh proses itu.
Nazlatan Ukhra Kasuba telah menunjukkan bahwa politik tidak boleh berjalan di bawah bayang-bayang ketakutan. Bahwa suara yang jujur, meski kecil dan diserang, tetap lebih kuat daripada keheningan yang dipaksakan. Ia mungkin berdiri sendirian hari ini, tetapi sejarah selalu berpihak pada mereka yang memilih jalan sulit demi menjaga agar kebenaran tetap punya ruang hidup.Dan jika Maluku Utara ingin bergerak maju, keberanian seperti inilah yang harus menjadi budaya, bukan pengecualian.









