Sukarno M. Adam
Direktur Buku Suba Institute
Mengapa daerah dibuat tidak berdaya, tapi “dipaksakan” untuk mandiri dan produktif? Pertanyaan tersebut muncul dengan logika sederhana yang mencoba menyelisik relasi kuasa pusat daerah.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Diskursus pusat dan daerah bukanlah barang baru yang mahal diperbincangkan, dan juga bukanlah barang bekas yang dianggap tidak berharga dan bermakna. Pusat dan daerah tidak perlu didikotomisasi, tetapi perlu ditegaskan sehingga tidak menciptakan jurang curam yang menciptakan superior dan subordinat dalam teritori bernegara.
Mungkin banyak yang menganggap bahwa pusatlah yang harus menentukan segalanya berkaitan dengan “navigasi” negara. Padahal, narasi panjang sejarah bangsa, sangat jelas menegaskan bahwa eksistensi negara hadir karena adanya daerah. Hal ini persis yang dijelaskan oleh pendiri sosiologi Ibnu Khaldun dalam konsep ashabiyah, yang menjelaskan bahwa kedaulatan negara tercipta karena pendorong utamanya adalah kesukuan-kedaerahan (ashabiyah).
Dan bukankah karakterisktik dan kekhususan (saripati) daerah itulah yang menjadi landasan filosofi untuk merangkai dan merancang dasar negara. Dan bukankah dengan perbedaan-perbedaan tersebutlah menjadi titik berangkat untuk menformulasikan “kesatuan” bentuk negara. Hanya saja, realitas ketidakadilan di daerah terus dipertanyakan dalam konsep kesatuan saat ini. Sehingga bangunan paradigma hubungan pusat dan daerah terus dipertanyakan.
Kewenangan “Minimalis”
Bangunan paradigma, yang membuat daerah tidak berdaya adalah karena semuanya harus diatur dari pusat, kewenangan daerah ditarik ke pusat—sama halnya mematikan ruh desentralisasi dan membangkitkan resentralisasi. Hal ini menjadi bentuk “domestikasi” pusat ke daerah, dimana seluruh kebijakan diambil alih oleh pemerintah pusat yang diatur dalam bentuk regulasi.
Kita bisa mulai, dari UUCK (Undang-Undang Cipta Kerja), Undang-Undang Minerba, Undang-Undang Pemerintah Daerah, Undang-Undang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (HKPD), dan bahkan kemungkinan Undang-Undang lainnya yang mestinya jelih diteliti, sehingga tidak lahir semacam “jebakan” yang membuat daerah lemah dalam kewenangan dan terus tereksploitasi. Artinya bahwa, desentralisasi administrasi dibuat bergerak menuju pusat yang disebut sentripitalisme. Dan hal ini menjelaskan dengan gamblang mirisnya posisi kewenangan daerah. Dan sama halnya mengkhianti sejarah lahirnya dan cita-cita otonomi daerah.
Hal lainnya juga bisa ditelaah yaitu persoalan fisikal daerah. Banyak sekali keluh-kesah pemerintah daerah berkaitan dengan fiskal daerah, dimana akan terjadinya pemangkasan alokasi dana transer ke daerah (TKD). Yang sebelumnya Pemerintah pusat dan DPR RI menyepakati alokasi dana transfer ke daerah (TKD) Rp 693 Triliun dalam RAPBN 2026, yang jauh berbeda dengan APBN 2025 sebesar RP 848 Triliun. Padahal, dalam evaluasi kemandagri 70 persen daerah belum mandiri dalam membiayai anggaran fiskal mereka sendiri. Artinya bahwa, dengan keterbatasan alokasi dana tranansfer ke daerah, jelas akan mempengaruhi instababilitas sosial-ekonomi di daerah. Apalagi kewenangan daerah yang “minamilis” yang diatur dalam regulasi, gerak daerah semakin terbatas. Hal ini mempertegas bahwa minimnya kewenangan dan kebijakan fisikal bertentang dengan spirit desentralisasi.
Kewenangan dan “Gesekan” Daerah
Menyambungkan kewenangan dan gesekaan di daerah. Haruslah dipahami bahwa, problem dan gesekan di daerah seolah-olah menjadi pertentangan an sich di daerah. Misalnya, massifnya permintaan Daerah Otonomi Baru (DOB), keluhan Infrastruktur daerah kepulauan (berkaitan aksesiblitas), perjuangan masyarakat adat (perjuangan atas hak ulayat), “kepungan” industri ekstraaktif (tambang) di Halmahera, dan lain sebagainya.
Hal ini apakah semata-mata hadir begitu saja di daerah, jelasnya tidak. Semuanya harus ditelaah dari pusat, baik itu lahir dari regulasi maupun dari bentuk kebijakannya. Misalnya; Sepuluh tahun pemerintah tidak membuka pintu pemekaran—akhirnya penumpukan pengusulan DOB. Belum ada Undang-Undang Daerah Kepulauan—sehingga aksesibilitas daerah kepulauan sangat minim, padahal negera kita negara kepulauan (archipelagic state). Mandeknya Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat—padahal sudah diusulkan kurang lebih 16 tahun lalu. Dan seluruh perijinan pertambangan berada di pusat—sejatinya imbasnya adalah daerah. Ini semua mempertegas bahwa daerah tidak punya posisi bargaining yang kuat.
Dan mengapa harus ada “gesekan” di daerah? Karena semuanya real terjadi dan berdampak di daerah. Hanya saja perlu digali jawabannya lebih jauh, bahwa pertentangan di daerah bukanlah jawaban. Karena pertentangan sesungguhnya adalah pertentangan pusat dan daerah, pertentangan di daerah merupakan pertentangan turunan semata, bukanlah pertentangan pokok. Underline-nya persoalan relasi kuasa yang tidak seimbang antara pusat dan daerah. Dan belum ada “keikhlasan” pusat memberikan sepenuhnya desentralisasi seluas-luasnya.
Olehnya itu, gesekan daerah dengan tuntutan-tuntutannya harus dipindahkan pada pokok pertentanganya yaitu pusat, dengan narasi agungnya relasi kuasa pusat dan daerah haruslah diatur secara adil. Karena pastinya tuntuntan di daerah jika ditanya ke pemerintah daerah, jawabanya bukan kewenangan pemerintah daerah, tapi itu kewenangan pemerintah pusat seperti tentang perijinan tambang misalnya. Begitu juga dengan persolaan infrastruktur di daerah, pastinya jawaban karena ada efisiensi anggaran yang ditetapkan di pusat. Persoalan-persoalan inilah yang menjadi catatan yang harus digaris bawahi bahwa agar tidak menghabiskan energi “gesekan” yang terjadi di daerah.
Akhir dari catatan ini, bahwa daerahlah yang sejatinya menghidupkan pusat, karena sumber fisikal negara berada di daerah. Olehnya itu yang harus dilakukan adalah kembalikan “ruh” desentralisasi atau otonomi daerah. Dengan cara pulangkan kewenangan daerah sepenuhnya. Memberikan ruang dan fungsi maksimal pada senator atau lembaga Dewan Perwakilan Daerah/DPD sebagai people and teritory representation, sehingga tidak semata-mata memberikan pengawasan dan pengusulan kebijakan, tetapi juga ikut terlibat dalam memutuskan kebijakan untuk kepentingan di daerah. Sekali lagi, ini bukan persoalan dikotomi pusat dan daerah, tapi ini mempertegas keadilan untuk daerah dalam membangun bangsa.*









