tajukmalut.com | Ternate – Pemutaran film dokumenter berjudul Ngomi o Obi (Kami yang di Obi) oleh TV Tempo pada Senin, 15 Juli 2025, di Aula Nuku Lantai 4 Kampus Universitas Khairun (Unkhair) Ternate menuai sorotan tajam dari kalangan mahasiswa dan masyarakat Pulau Obi. Film yang menyoroti operasi pertambangan PT. Harita Nickel dan pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) tersebut dinilai menyajikan narasi sepihak yang condong membela perusahaan tambang.
Acara yang dihadiri langsung oleh Rektor Unkhair beserta jajarannya, perwakilan Gubernur dari Dinas Lingkungan Hidup Maluku Utara, CEO TV Tempo, serta mahasiswa lintas fakultas ini dilanjutkan dengan sesi diskusi publik. Beberapa narasumber yang dihadirkan antara lain akademisi Unkhair, perwakilan nelayan dan petani Obi, serta tokoh perempuan yang disebut sebagai “Menteri Pertanian” di tingkat lokal karena kiprahnya sebagai petani sukses di Obi.
Namun, suasana forum menjadi tegang ketika Rahman Udin, Ketua Umum Gerakan Persatuan Mahasiswa Obi Maluku Utara (GPMO-Malut), menyampaikan pertanyaan kritis kepada CEO TV Tempo. Ia mempertanyakan motif dan tujuan dari produksi film tersebut yang dinilai terlalu normatif dan kurang menggambarkan realitas problematik yang dialami masyarakat lingkar tambang.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Saat saya bertanya, CEO hanya menjawab bahwa film ini sekadar memotret keberadaan Harita di Obi. Itu jawaban yang terlalu datar,” ungkap Rahman.
Kekecewaan semakin memuncak ketika moderator diskusi tidak memberikan ruang lanjutan untuk klarifikasi dengan dalih keterbatasan waktu. Forum diskusi pun dinilai berjalan tidak adil karena mengesampingkan suara-suara kritis dari masyarakat Obi.
Rahman juga menyoroti pernyataan salah satu pemateri, seorang petani perempuan yang menggambarkan bahwa CSR PT. Harita Nickel telah tersalurkan dengan baik dan menyentuh seluruh lapisan masyarakat desa. Pernyataan tersebut ditanggapi dengan skeptis oleh mahasiswa Obi yang merasa kenyataan di lapangan jauh dari klaim tersebut.
“Ini bukan soal beda pandangan. Ini soal realitas. Masyarakat Obi sudah lama hidup dalam dampak lingkungan yang berat akibat tambang, tapi CSR yang dijanjikan tak kunjung memberi perubahan berarti,” tegasnya.
Dalam forum itu, Rahman juga menyesalkan sikap Pemerintah Kabupaten Halmahera Selatan dan Pemerintah Provinsi Maluku Utara yang dinilai tidak serius mengawal tanggung jawab sosial perusahaan. Ia menyoroti peran Bupati Halmahera Selatan yang secara struktural adalah Penasehat CSR, namun belum menunjukkan inisiatif kuat dalam mengevaluasi efektivitas program yang dijalankan oleh PT. Harita Nickel.
“Sudah kami surati Dinas ESDM Maluku Utara pada 10 Juli 2024 untuk meminta laporan resmi CSR seluruh perusahaan tambang di Obi. Tapi sampai sekarang, kami hanya dapat jawaban normatif tanpa dokumen,” katanya.
Mahasiswa juga mempertanyakan potensi konflik kepentingan antara TV Tempo dengan perusahaan tambang, mengingat film yang ditayangkan dinilai terlalu berpihak kepada perusahaan.
Dalam pernyataan penutupnya, Rahman mewakili GPMO-Malut mendesak agar Presiden RI, Menteri ESDM, dan lembaga negara lainnya turun langsung ke Pulau Obi untuk memastikan keseriusan pelaksanaan CSR dan dampaknya bagi masyarakat.
Ia menegaskan bahwa masyarakat Obi tidak menolak keberadaan industri, namun menuntut keadilan, transparansi, dan keberpihakan yang berimbang dalam kebijakan sosial, lingkungan, dan ekonomi.
“Kalau perusahaan serius ingin membantu masyarakat, tunjukkan dengan data terbuka, program tepat sasaran, dan evaluasi publik. Jangan jadikan CSR sebagai formalitas untuk membungkam kritik,” pungkas Rahman.(red)