Oleh : AHMAD R IDIN (Aktivis HMI)
Ide Kampanye “Wujudkan Halut Setara” yang diusung Bupati Dan Wakil Bupati Halmahera Utara, sekilas terdengar progresif dan memotivasi. Mereka seolah mengajak seluruh masyarakat untuk membangun daerah dengan semangat kebersamaan dan keadilan sosial. Namun, di balik kalimat yang sederhana itu, tersimpan paradoks yang layak direnungkan: benarkah Halmahera Utara sudah berjalan menuju kesetaraan, atau justru terjebak dalam simbolisme politik yang belum menyentuh akar persoalan?
Kesetaraan, dalam konteks sosial, berarti setiap warga memiliki kesempatan yang sama untuk tumbuh, berpendapat, dan menikmati hasil pembangunan. Tetapi realitas di lapangan sering menunjukkan hal sebaliknya. Sebagian besar desa masih berjuang dengan akses jalan, pendidikan, dan kesehatan yang terbatas. Di sinilah paradoks itu muncul: tagline yang menjanjikan kesetaraan justru berdiri di atas ketimpangan yang nyata.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Kesenjangan ini bukan sekadar persoalan teknis, tetapi juga persoalan struktur dan perspektif. Pemerintah daerah memiliki otoritas dan sumber daya besar, tetapi sejauh mana kekuasaan itu benar-benar membuka ruang partisipasi bagi warga? Apakah masyarakat hanya menjadi penerima bantuan, atau sudah menjadi bagian dari perumusan kebijakan publik? Tanpa keadilan dalam akses dan partisipasi, “kesetaraan” hanya menjadi kata tanpa isi.
Tagline itu juga memperlihatkan watak paradoksal dari politik simbolik di daerah. Dalam dunia politik lokal, kata-kata seperti “setara”, “berkeadilan”, atau “sejahtera” kerap digunakan sebagai mantra moral untuk membangun citra. Ia bekerja di tataran retorika untuk menenangkan, menginspirasi, tetapi sekaligus menutupi jarak antara janji dan kenyataan. Padahal, keadilan sosial tidak bisa dilahirkan dari retorika, melainkan dari tindakan konkret yang mengubah distribusi kekuasaan dan sumber daya.
Namun, bukan berarti slogan ini harus ditolak mentah-mentah. Justru sebaliknya, “Wujudkan Halut Setara” perlu dijaga agar tidak menjadi jargon kosong. Pemerintah daerah harus berani menafsir ulang makna kesetaraan dalam konteks lokal: mendekatkan pelayanan publik ke desa, memperkuat ekonomi rakyat kecil, partisipasi masyarakat harus juga melibatkan semua kalangan dan menghapus diskriminasi pembangunan antarwilayah. Kesetaraan harus menjadi prinsip kerja, bukan hanya semboyan politik.
Pada akhirnya, paradoks ini adalah pengingat bahwa kata-kata pemimpin tidak boleh berhenti di papan reklame atau media sosial. Ia harus menjelma menjadi kebijakan yang menyentuh tanah dan kehidupan rakyat. Sebab, kesetaraan bukan tentang seberapa indah kita mengucapkannya, tapi seberapa adil kita memperjuangkannya.
Wujudkan Halut yang Setara, kalimat ini akan menemukan maknanya ketika setiap warga, di pesisir hingga pegunungan, dapat berkata: “kami benar-benar merasakannya.” *









